PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
Ada
4 pemikiran Ki Hajar Dewantara :
1. Tetep, Antep, Mantep
1. Tetep, Antep, Mantep
2. Momong,
Among, Ngemong
3. Ngandel,
Kandel, Kendel, Bandel
4. Neng,
Nang, Ning, Nung
Pada
kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang pemikiran yang pertama yaitu :
tetep, antep mantep.
- ⇉
Tetep, dapat diartikan sebagai ketegguhan
pikiiran (ada ketetapan pikiran). Keteguhan pikiran pasti memiliki mutu yang kuat
sehingga yanng lebih dihasilkan pikiran yanng lebih berkualitas.
Dalam pemikiran yang bekualitas,
kita bisa menyoroti fenomena kekanak-kanakan. Ada 2 dalam fenomena
kekanak-kanakan yakni : fenomena manja, dan fenomena rapuh mental.
a. Fenomena
manja, Ini bisa terjadi pada jaman millinnial
( tahun 1990 ke atas)
Generasi millennial, atau mereka yang
lahir pada tahun 1990 ke atas, dianggap memiliki banyak sisi buruk oleh
generasi sebelumnya. Hingga kini, majalah TIME
dengan tajuk "Me Me Me Generation" - Generasi aku aku
aku- tulisan Joel Stein, dengan cover seorang gadis sedang berselfie masih kerap menjadi bahan perbincangan dan
diskusi. Baik di media sosial, jurnal kampus, ataupun secara terbuka. Majalah
itu sendiri terbit pada tahun 2013 lalu.
TIME
menyebutkan bahwa generasi milenial tumbuh ke arah yang lebih buruk. Mereka
narsis, penggila gadget, egois, dan manja. Berbagai 'fakta negatif' mengenai
generasi millennial pun diungkapkan oleh majalah ini, antara lain, perkembangan
yang mereka yang terhambat.
"Semakin
banyak orang usia 18 sampai 19 tahun yang masih tinggal dengan orangtua,"
tulis TIME. Fakta negatif lainnya adalah gangguan narsisistik hampir 3
kali lipat ditemukan pada orang-orang usia 20'an dibanding generasi yang kini
berusia 65 tahun ke atas.
"Mahasiswa
mendapat nilai tingkat narsis lebih tinggi pada tahun 2009 dibanding tahun
1982," menurut artikel tersebut.
Pertama-tama,
apa itu benar? Dengan hanya mengungkapkan fakta, majalah dianggap seakan-akan
menilai tanpa mempertimbangkan apa alasan yang yang mendasari fakta-fakta itu.
Kedua,
apakah itu selamanya buruk? Apakah perkembangan teknologi hanya membawa
perubahan lebih buruk? Apakah sifat narsis, mencintai diri sendiri, atau
sifat-sifat serupa membawa efek negatif?
Manja disini mengacu pada mereka yang
masih tinggal bersama orangtua pada usia dimana mereka seharusnya sudah
berkeluarga. Ini bukan tanpa alasan, menurut CNN.com, walau tingkat pengangguran pemuda
AS menurun biaya hidup meningkat, sedangkan gaji karyawan rata-rata stagnan.
Akibatnya, generasi millennial berjuang lebih keras dalam menghidupi diri
sendiri, dan menjadikan menabung pilihan terakhir. Mau tidak mau, banyak dari
mereka harus kembali tinggal dengan orangtua mereka.
Ada pula anggapan bahwa generasi
millennial merupakan mereka yang tidak memahami arti dari kerja keras. Walau
sesungguhnya, ini terjadi karena peran orangtua dan wali dari generasi
sebelumnya, mengantarkan mereka memilih untuk kerja 'cerdas' dibanding kerja
'keras'.
Todd Cherches dari The Hired
Guns mengungkapkan bahwa secara rata-rata, anak-anak
milenial memiliki toleransi lebih rendah terhadap birokrasi dan proses yang
lama. Mereka menolak melakukan pekerjaan monoton. Mereka fokus pada apa yang
harus diselesaikan dengan mencari cara sendiri. Dengan teknologi yang lebih
maju, sering kali mereka memiliki siasat sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan.
Artinya, mereka bukan berarti tidak mau bekerja, namun cara kerja mereka
berbeda.
b. Fenomena
rapuh mental
Fenomena yang sering dialami oleh
masyarakat saat ini salah satunya adalah Personality disorders. Personality
disorders, ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku dan mengatasi
stress, seperti perilaku antisosial. Gangguan-gangguan karena kecemasan
Seseorang mengalami gangguan kecemasan bila setiap saat dalam kehidupannya
sehari-hari ia selalu merasakan tegangan psikologis yang cukup tinggi, walaupun
persoalan yang dihadapi cukup ringan. Orang yang selalu cemas, kadang-kadang
akan terserang rasa panik, yaitu suatu periode ketakutan yang luar biasa
seakan-akan malapetaka besar akan terjadi. Keadaan ini akan diikuti oleh
gejala-gejala gangguan fisik seperti jantung berdegub kencang, nafas
tersenggal-senggal, keringat dingin, gemetar yang hebat, bahkan kadang-kadang
sampai pingsan. Individu yang mengalami gangguan kecemasan tidak tahu
faktor-faktor yang menyebabkan dia bertingkah laku seperti itu. Kecemasan ini
sering disebut free-floating, karena tidak jelas faktor yang menyebabkannya.
Banyaknya tekanan yang menuntut dalam
setiap kehidupan manusia, tidak dapat dipungkiri dapat menyebabkan terjadinya
stress. Namun, tidak hanya tekanan saja yang dapat menyebabkan stress.
Penyebab stress pun berbagai macam diantaranya berasal dari lingkungan karya,
lingkungan sosial, atau pun perkembangan zaman. Dan stress juga bisa bersumber
dari tekanan, konflik, frustasi, dan krisis. Kemudian hasil dari stress tersbut
dapat menimbulkan kecemasan-kecemasan yang dapat menganggu kesehatan mental
seseorang.
Dari uraian di atas, jika kita menyoroti
pendidiikan era 90-an maka hasilnya atau outputnya akan jelas berbeda. Pendidikan
belasan tahun yang lalu ini bisa dibilang cukup ketat, bahkan kebanyakan guru menerapkan
metode punishment atau hukuman jika para siswa tidak disiplin dalam belajar.
Hal ini membuat para siswa mau-tidakmau harus belajar dengan giat.
Hal ini dikemukakan langsung oleh
Nontje Kalangi, satu diantara PNS Senior yang ada di lingkungan Pemkab Minahasa
Selatan (Minsel). "Dulu karakter kedisiplinan ditanamkan sejak dini. Kami
tidak boleh terlambat sekolah. Tak hanya kedisiplinan, budi pekerti juga terus
diingatkan sehingga kami tau apa itu sopan santun dan sangat menghormati guru,"
katanya kepada Tribun Manado, Rabu (10/8).
Masih jelas diingatannya ketika tak
mampu menjawab soal dan terpaksa harus menerima hukuman. "Jika tak
menjawab satu soal maka tangan kami akan dipukul sebanyak 10 kali. Orangtua
tidak mengeluh dan mempercayakan sepenuhnya ke pihak sekolah. Hal ini membuat
kami harus belajar dengan giat dan tidak malas-malasan. Lamanya pelajaran
selama enam jam sudah termasuk istirahat," jelasnya.
Namun dia mengaku ajaran yang
diberikan oleh para guru
sangat berguna hingga saat ini. Menurutnya karakater yang terbentuk sangatlah
kuat sehingga menjadi modal baginya ketika mendapat pekerjaan. "Dengan
ajaran seperti itu siswa justru termotivasi untuk belajar. Kebanyakan angkatan
kami juga menjadi 'orang' dan bisa meraih kesuksesan masing-masing," ujar
wanita yang berprofesi sebagai Kabag Administrasi Sekretariat DPRD Minsel
ini.
Sayangnya dia merasa miris dengan
output yang dihasilkan pendidikan saat ini. Terutama dalam hal moral. "Anak-anak
jaman sekarang sudah tidak menghormati guru
kedisiplinan menurun. Karakter anak tidak terbentuk dengan baik. Harusnya pendidikan
budi pekerti diprioritaskan. Tidak ada gunanya jika pintar namun moralnya
bobrok," tambahnya.
Meski demikian wanita berumur 54 tahun
ini sangat setuju dengan kebijakan Kementrian Pendidikan saat ini.
"Mengenai kebijakan terbaru saya setuju. Karena kebanyakan orangtua
keduanya sibuk bekerja sehingga terkadang ketika anak dirumah mereka belum
pulang dan tidak bisa memaksimalkan pendidikan
dirumah. Tapi jika jam pelajaran ditambah, maka ketika anak pulang, orangtua
sudah dirumah," terangnya
Pada
saat menempuh studi, generasi 90an setidaknya pernah merasakan perubahan
kurikulum oleh Kemendikbud. Perubahan kurikulum pertama kali dilakukan tahun
1947 dan selanjutnya diadakan beberapa kali untuk menyesuaikan pendidikan
dengan perkembangan zaman. Biasanya, kurikulum berubah karena perubahan sistem
politik, sosial budaya, hingga ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah
satu perubahan sistem belajar yang patut diingat adalah perubahan sistem
semester ke sistem caturwulan pada Kurikulum 1994. Tahun ajaran dibagi menjadi
tigs sesi, yakni caturwulan I, II, dan III. Ada plus dan minus
dari sistem pendidikan ini. Siswa diwajibkan untuk menempuh ujian sebanyak tiga
kali setiap empat bulan. Asiknya, mereka tidak akan bosan sekolah karena ujian
selalu diiringi dengan waktu libur. Namun, mereka juga harus membeli buku
ajaran baru setiap empat bulan sekali.
Adapun
masa perubahan kurikulum yang cukup menimbulkan kebingungan, baik untuk guru
maupun murid. Pada tahun 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ditetapkan
untuk mengganti sistem caturwulan kembali ke sistem semester. Berselang dua
tahun, kurikulum diubah lagi menjadi Kurikulum 2006 dengan sebutan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Akibatnya, siswa harus membeli buku baru.
Guru pun juga harus menyiapkan sistem mengajar baru sesuai kurikulum.
Untuk selanjutnya akan kita bahas pada blog
selanjutnya…
No comments:
Post a Comment