Thursday, November 1, 2018

Filsafat Pendidikan Episode 4


PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA

 

 Ada 4 pemikiran Ki Hajar Dewantara : 
1.    Tetep, Antep, Mantep

      2.    Momong, Among, Ngemong

      3.    Ngandel, Kandel, Kendel, Bandel

      4.    Neng, Nang, Ning, Nung

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang pemikiran yang pertama yaitu : tetep, antep mantep.

-         ⇉ Tetep, dapat diartikan sebagai ketegguhan pikiiran (ada ketetapan pikiran). Keteguhan pikiran pasti memiliki mutu yang kuat sehingga yanng lebih dihasilkan pikiran yanng lebih berkualitas.


        Dalam pemikiran yang bekualitas, kita bisa menyoroti fenomena kekanak-kanakan. Ada 2 dalam fenomena kekanak-kanakan yakni : fenomena manja, dan fenomena rapuh mental.

a.    Fenomena manja, Ini bisa terjadi pada jaman millinnial  ( tahun 1990 ke atas)

Generasi millennial, atau mereka yang lahir pada tahun 1990 ke atas, dianggap memiliki banyak sisi buruk oleh generasi sebelumnya. Hingga kini, majalah TIME dengan tajuk "Me Me Me Generation" - Generasi aku aku aku- tulisan Joel Stein, dengan cover seorang gadis sedang berselfie masih kerap menjadi bahan perbincangan dan diskusi. Baik di media sosial, jurnal kampus, ataupun secara terbuka. Majalah itu sendiri terbit pada tahun 2013 lalu.

TIME menyebutkan bahwa generasi milenial tumbuh ke arah yang lebih buruk. Mereka narsis, penggila gadget, egois, dan manja. Berbagai 'fakta negatif' mengenai generasi millennial pun diungkapkan oleh majalah ini, antara lain, perkembangan yang mereka yang terhambat.

"Semakin banyak orang usia 18 sampai 19 tahun yang masih tinggal dengan orangtua," tulis TIME. Fakta negatif lainnya adalah  gangguan narsisistik hampir 3 kali lipat ditemukan pada orang-orang usia 20'an dibanding generasi yang kini berusia 65 tahun ke atas.

"Mahasiswa mendapat nilai tingkat narsis lebih tinggi pada tahun 2009 dibanding tahun 1982," menurut artikel tersebut. 

Pertama-tama, apa itu benar? Dengan hanya mengungkapkan fakta, majalah dianggap seakan-akan menilai tanpa mempertimbangkan apa alasan yang yang mendasari fakta-fakta itu.

Kedua, apakah itu selamanya buruk? Apakah perkembangan teknologi hanya membawa perubahan lebih buruk? Apakah sifat narsis, mencintai diri sendiri, atau sifat-sifat serupa membawa efek negatif?

Manja disini mengacu pada mereka yang masih tinggal bersama orangtua pada usia dimana mereka seharusnya sudah berkeluarga. Ini bukan tanpa alasan, menurut CNN.com, walau tingkat pengangguran pemuda AS menurun biaya hidup meningkat, sedangkan gaji karyawan rata-rata stagnan. Akibatnya, generasi millennial berjuang lebih keras dalam menghidupi diri sendiri, dan menjadikan menabung pilihan terakhir. Mau tidak mau, banyak dari mereka harus kembali tinggal dengan orangtua mereka.

Ada pula anggapan bahwa generasi millennial merupakan mereka yang tidak memahami arti dari kerja keras. Walau sesungguhnya, ini terjadi karena peran orangtua dan wali dari generasi sebelumnya, mengantarkan mereka memilih untuk kerja 'cerdas' dibanding kerja 'keras'.

Todd Cherches dari The Hired Guns mengungkapkan bahwa secara rata-rata, anak-anak milenial memiliki toleransi lebih rendah terhadap birokrasi dan proses yang lama. Mereka menolak melakukan pekerjaan monoton. Mereka fokus pada apa yang harus diselesaikan dengan mencari cara sendiri. Dengan teknologi yang lebih maju, sering kali mereka memiliki siasat sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan. Artinya, mereka bukan berarti tidak mau bekerja, namun cara kerja mereka berbeda.

b.    Fenomena rapuh mental

Fenomena yang sering dialami oleh masyarakat saat ini salah satunya adalah Personality disorders. Personality disorders,  ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku dan mengatasi stress, seperti perilaku antisosial. Gangguan-gangguan karena kecemasan  Seseorang mengalami gangguan kecemasan bila setiap saat dalam kehidupannya sehari-hari ia selalu merasakan tegangan psikologis yang cukup tinggi, walaupun persoalan yang dihadapi cukup ringan. Orang yang selalu cemas, kadang-kadang akan terserang rasa panik, yaitu suatu periode ketakutan yang luar biasa seakan-akan malapetaka besar akan terjadi. Keadaan ini akan diikuti oleh gejala-gejala gangguan fisik seperti jantung berdegub kencang, nafas tersenggal-senggal, keringat dingin, gemetar yang hebat, bahkan kadang-kadang sampai pingsan. Individu yang mengalami gangguan kecemasan tidak tahu faktor-faktor yang menyebabkan dia bertingkah laku seperti itu. Kecemasan ini sering disebut free-floating, karena tidak jelas faktor yang menyebabkannya.

Banyaknya tekanan yang menuntut dalam setiap kehidupan manusia, tidak dapat dipungkiri dapat menyebabkan terjadinya stress.  Namun, tidak hanya tekanan saja yang dapat menyebabkan stress. Penyebab stress pun berbagai macam diantaranya berasal dari lingkungan karya, lingkungan sosial, atau pun perkembangan zaman. Dan stress juga bisa bersumber dari tekanan, konflik, frustasi, dan krisis. Kemudian hasil dari stress tersbut dapat menimbulkan kecemasan-kecemasan yang dapat menganggu kesehatan mental seseorang.


Dari uraian di atas, jika kita menyoroti pendidiikan era 90-an maka hasilnya atau outputnya akan jelas berbeda. Pendidikan belasan tahun yang lalu ini bisa dibilang cukup ketat, bahkan kebanyakan guru menerapkan metode punishment atau hukuman jika para siswa tidak disiplin dalam belajar. Hal ini membuat para siswa mau-tidakmau harus belajar dengan giat.

Hal ini dikemukakan langsung oleh Nontje Kalangi, satu diantara PNS Senior yang ada di lingkungan Pemkab Minahasa Selatan (Minsel). "Dulu karakter kedisiplinan ditanamkan sejak dini. Kami tidak boleh terlambat sekolah. Tak hanya kedisiplinan, budi pekerti juga terus diingatkan sehingga kami tau apa itu sopan santun dan sangat menghormati guru," katanya kepada Tribun Manado, Rabu (10/8).

Masih jelas diingatannya ketika tak mampu menjawab soal dan terpaksa harus menerima hukuman. "Jika tak menjawab satu soal maka tangan kami akan dipukul sebanyak 10 kali. Orangtua tidak mengeluh dan mempercayakan sepenuhnya ke pihak sekolah. Hal ini membuat kami harus belajar dengan giat dan tidak malas-malasan. Lamanya pelajaran selama enam jam sudah termasuk istirahat," jelasnya.

Namun dia mengaku ajaran yang diberikan oleh para guru sangat berguna hingga saat ini. Menurutnya karakater yang terbentuk sangatlah kuat sehingga menjadi modal baginya ketika mendapat pekerjaan. "Dengan ajaran seperti itu siswa justru termotivasi untuk belajar. Kebanyakan angkatan kami juga menjadi 'orang' dan bisa meraih kesuksesan masing-masing," ujar wanita yang berprofesi sebagai Kabag Administrasi Sekretariat DPRD Minsel ini.

Sayangnya dia merasa miris dengan output yang dihasilkan pendidikan saat ini. Terutama dalam hal moral. "Anak-anak jaman sekarang sudah tidak menghormati guru kedisiplinan menurun. Karakter anak tidak terbentuk dengan baik. Harusnya pendidikan budi pekerti diprioritaskan. Tidak ada gunanya jika pintar namun moralnya bobrok," tambahnya.

Meski demikian wanita berumur 54 tahun ini sangat setuju dengan kebijakan Kementrian Pendidikan saat ini. "Mengenai kebijakan terbaru saya setuju. Karena kebanyakan orangtua keduanya sibuk bekerja sehingga terkadang ketika anak dirumah mereka belum pulang dan tidak bisa memaksimalkan pendidikan dirumah. Tapi jika jam pelajaran ditambah, maka ketika anak pulang, orangtua sudah dirumah," terangnya

Pada saat menempuh studi, generasi 90an setidaknya pernah merasakan perubahan kurikulum oleh Kemendikbud. Perubahan kurikulum pertama kali dilakukan tahun 1947 dan selanjutnya diadakan beberapa kali untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan zaman. Biasanya, kurikulum berubah karena perubahan sistem politik, sosial budaya, hingga ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satu perubahan sistem belajar yang patut diingat adalah perubahan sistem semester ke sistem caturwulan pada Kurikulum 1994. Tahun ajaran dibagi menjadi tigs sesi, yakni caturwulan I, II, dan III. Ada plus dan minus dari sistem pendidikan ini. Siswa diwajibkan untuk menempuh ujian sebanyak tiga kali setiap empat bulan. Asiknya, mereka tidak akan bosan sekolah karena ujian selalu diiringi dengan waktu libur. Namun, mereka juga harus membeli buku ajaran baru setiap empat bulan sekali.

Adapun masa perubahan kurikulum yang cukup menimbulkan kebingungan, baik untuk guru maupun murid. Pada tahun 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ditetapkan untuk mengganti sistem caturwulan kembali ke sistem semester. Berselang dua tahun, kurikulum diubah lagi menjadi Kurikulum 2006 dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Akibatnya, siswa harus membeli buku baru. Guru pun juga harus menyiapkan sistem mengajar baru sesuai kurikulum.



Untuk selanjutnya akan kita bahas pada blog selanjutnya…







No comments:

Post a Comment